Baru ku tahu kenapa kebanyakan perawat Rumah Sakit (RS) judes dan sering bermuka masam. Ternyata beban kerja mereka luar biasa beratnya. Tidak seperti perawat di Puskesmas, Pustu, ataupun di klinik, tugas mereka lebih ringan di bandingkan di RS.
Kurang dari tiga hari ku menjalani peran sebagai karyawan alias perawat training di RS. Rasanya udah nggak kuat. Padahal praktek di RS sudah pernah kujalani sewaktu masih menjadi mahasiswa keperawatan. Tapi kali ini rasanya Cuuaapeekk banget.... Kaki serasa nyut-nyutan. Padahal sudah sengaja mengganti sepatu yang lebih ceper ternyata belum mempan juga (T_T).
Sabtu (28/8) ku dinas di Unit Gawat Darurat (UGD), lumayan asyik. tidak banyak berdiri dan berjalan. Perawat seniornya pun asyik-asyik. Yang buat suasana kerja lebih cair saat itu adalah munculnya wacana ketidak samarata-an dalam pembagian air kaleng sebagai jatah lebaran bagi seluruh karyawan RS. Perawat di Poli dan di UGD tidak mendapat jatah minuman seperti para perawat di Ruang perawatan dan di ICU. Jadi rame tuh UGD dengan suara ketawa dan protes para perawat Poli dan UGD yang notabene adalah perawat yang paling lama mengabdi di RS tersebut.
Cukup empat hari ku menjalani masa orientasi di RS. Dan akhirnya diputuskan lah penempatan ku di mana. Karena salah satu perawat di Ruang Perawatan lantai III baru saja mengundurkan diri, maka aku ditugaskan menggantikan posisi beliau. Fiuh.... Dinas di ruangan bangsal... Makin gempor aja nih kaki.,,,,
Menyambung tulisan “Gara-gara Mentoring” yang lalu. Ku buka tulisan kali ini dengan sedikit muqoddimah.
Membentuk keluarga adalah fitrah bagi manusia. Tipe keluarga seperti apa yang akan dibentuk merupakan pilihan bebas bagi yang menjalaninya. Tergantung sejauh mana visi dan misi anda menikah. Sayang, banyak dari kaum muslim sekarang menikah hanya menurut kecenderungan naluriahnya. Padahal umat saat ini sangat mengharapkan generasi yang akan membangkitkan mereka. Generasi kebangkitan akan dapat terwujud dari keluarga yang dibentuk di atas paradigma pembentukan keluarga yang terpancar dari pandangan hidup Islam. Namun gambaran tuntunan Islam itu sudah kabur di dalam benak banyak orang dari kaum muslim. Maka suatu kewajibanlah untuk menjelaskan kepada umat. Proses paling awal dalam membentuk keluarga adalah memilih pasangan dan meminang.
Yah, kira-kira segitu saja muqoddimah yang saya edit dengan bahasa sendiri tanpa mengurangi maksud dari penulis.
Siang itu (19/8) aku duduk diantara antrian orang-orang yang akan mengurus surat-surat penting atau dengan kata lain aku sedang berada di kantor kecamatan Bengkong. Fiuh… menunggu untuk mendapatkan legalitas sebuah surat. Perlu sabar melihat cara kerja para pegawai itu. Apalagi menunggu adalah hal yang ku benci tapi ditunggu merupakan hal yang lebih ku benci. Jadi jika dihadapkan dengan dua pilihan itu aku lebih baik milih untuk menunggu. Melihat para pegawai yang mondar-mandir buka pintu membuat ku pusing, ku alihkan perhatian untuk membuka buku “Capita Selecta KAMMI: membumikan ideologi menginspirasi Indonesia, karangan Rijalul Imam dkk”. Buku yang belum sempat ku khatamkan.
(Agak sedikit menyimpang) “Tafsir Epistemologi Prinsip Gerakan KAMMI, Rijalul Imam” merupakan sub judul yang ku baca saat itu. Di dalam pembahasan ini bang Rijal (he… sok akrab!) menuliskan ada 6 mihwar (poros) gerakan KAMMI dalam membangun Indonesia. Pertama fase ideologi (1980-1998), kedua fase resistensi (1998-2004), ketiga fase reformulasi (2004-2009), keempat fase rekonstruksi (2009-2014), kelima fase leaderisasi (2014-2019), keenam fase internasionalisasi (2019-2024). Bagi ku bahasan ini cukup menarik, perhatikan tahun-tahunnya. Berada di fase apakah kita? Yup! Benar kita berada di fase rekonstruksi. Tahun 2009 adalah fase titik balik yang menentukan. Tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang pasti setiap gerakan harus memiliki rencana strategis (renstra). Renstra di lima tahun ke depan adalah menggulirkan Narasi Rekonstruksi Kebangsaan. Pada akhir bahasan ini bang Rijal menuliskan bahwa KAMMI harus merekonstruk kader-kadernya meningkatkan keahlian di bidangnya dan bergerak sesuai kompetensinya. Kelak, kader yang kompeten di bidang ekonomi syariah bekerja keras memperbaiki resesi ekonomi di sektor real dan makro. Kader di kedokteran pun bekerja memberikan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat dsb.
(Kembali ke jalan yang benar he… maksudnya kembali ke pokok bahasan) Akhir tahun 2010 ini usiaku genap 23 tahun. Berarti fase rekonstruksi berakhir saat ku berusia 27 tahun. Kemudian menginjak tahun ke-28 aku berada di fase leaderisasi, fase dimana bila dari tahun 2009-2014 KAMMI beserta para alumninya berhasil merekonstruksi bangsa ini maka hanya kepercayaan yang akan diberikan masyarakat pada KAMMI untuk memimpin negeri ini. Tentu pada fase leaderisasi ini usia kader dan alumni KAMMI sudah tidak hanya 20 tahun melainkan sudah ada yang seusia 30-an. Glekk!! Tiba-tiba ku terhentak. Apa tahun 2014 kader KAMMI akan semakin banyak??? Mengingat mahasiswa sekarang tidak seheroik dulu, tidak seidealis dulu. Begitu banyak prasangka-prasangka negatif yang muncul di benak. Lalu ku merujuk pada salah satu tulisan di atas “Generasi kebangkitan akan dapat terwujud dari keluarga yang dibentuk di atas paradigma pembentukan keluarga yang terpancar dari pandangan hidup Islam”. Wah… nancep banget nie kalimat. Salah satu solusi dari ketakutan-ketakutan ku itu ya memilih pasangan yang baik agamanya untuk menjadi teman hidup.
Menjadi mentor untuk anak-anak SMA baru bagiku. Sekitar lima bulan yang lalu aku diberi kesempatan menjadi mentor di SMA ku dulu. Pertemuan perdana dengan mereka membuat ku tersentak dengan pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Yah… pertanyaan mereka tidak jauh-jauh dari seputar percintaan. Lumayan menggelitik pertanyaan mereka, semuanya berhubungan dengan wacana dilarangnya berpacaran.Pertanyaan ini tidak pernah muncul pada zaman aku dan teman-teman menjadi peserta mentoring. Karena kami tidak pernah tahu kalau pacaran itu dilarang dalam agama. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam yang dulu asing di kalangan anak remaja sekarang sudah sangat familiar di telinga mereka. Yah, walaupun mereka belum tentu juga faham akan hal itu. Masih hari pertama, jadi ku gunakan untuk berta’arufan dengan mereka. Sekaligus sharing mengenai perkembangan ROHIS beberapa tahun belakangan.
Sesi Tanya Jawab
“ Kak, bener ya pacaran itu tidak boleh?” Tanya salah satu peserta mentoring dengan serius “ Siapa bilang? Boleh kok!?” jawab ku dengan PeDe nya ??????????????????????? tampaklah muka mereka yang keheran-heranan. Langsung saja ku sambung. “Pacaran itu boleh asal setelah menikah, malah itu wajib” lanjut ku “Oooooo…..” tanggap mereka serentak “Trus klo nggak pacaran lewat apa donk kak?” “Ya ta’aruf, kalian pernah dengar kata ini kan?” “Pernah sih kak…, tapi ta’aruf itu seperti apa?” Glekkkk!!!! Ta’aruf itu seperti apa ya?? wong aku belum pernah menjalaninya. Gimana ku bisa kasih tahu kronologisnya.
Akhirnya, dengan berat hati ku jujur mengatakan pada mereka bahwa aku tidak begitu tahu detail ta’arufan sebelum menikah itu seperti apa. Jadi yang kusampaikan pada mereka adalah proses yang pernah ku dengar dari Murobbiyah dan temen-temen satu usroh ku dulu. Alias ala kadarnya, tidak begitu lengkap.Dari kejadian itu, ku agak sedikit menyesal. Karena dari dulu ku paling ogah-ogahan membeli buku yang berhubungan dengan pernikahan. Jangankan membeli lalu membacanya. Membicarakannya atau membahasnya pun ku malas. Tidak berminat. Sampai-sampai ku tak berminat lagi membaca novel-novel Islami. Karena bisa ku tebak akhir ceritanya. Klo nggak sad ending dengan kematian ya….. happy ending dengan pernikahan dan poligami. Betul tidak?! He… Akhirnya karena kebutuhan inilah aku membeli dua buku tentang pernikahan. Satu untuk kado pernikahannya Kak Dodi dan yang satu lagi untuk ku baca-baca. Lumayan bisa buat bekal ku nanti. Aku lupa judul buku yang ku kasih untuk kak Dodi, tapi judul buku untuk ku adalah “Risalah Khitbah: Konsep Paradigmatik dalam Memilih Pasangan dan Meminang, karangan Yahya Abdurrahman”. Aku membalinya awal Juli 2010, baru Ramadhan ini ku sempat membacanya. Itu pun tidak ku baca dengan berurutan. Yang jelas Muqaddimah atau kata pengantar selalu ku baca duluan. Biar ku tahu apa tujuan si penulis memakai judul itu sebagai judul besar di bukunya. Kemudian ku membaca daftar isi nya, kira-kira subjudul mana yang paling menarik untuk bisa dibaca terlebih dahulu. Lalu ku pilih sub judul “Inikah Saatnya?”. Ada rasa ingin tahu dalam diriku. Apakah diriku sudah termasuk yang disunnahkan untuk menikah? Ataukah hukum wajib sudah jatuh pada ku? Atau hukum haram kah yang sekarang ku sandang? Jika aku termasuk yang disunnahkan/diwajibkan untuk menikah maka ku bulatkan tekad untuk segera menuliskan CV dari Murobbiyah yang sudah berminggu-minggu terlantar di tumpukan buku-buku. Bersambung cink….
Baru ku tahu kenapa kebanyakan perawat Rumah Sakit (RS) judes dan sering bermuka masam. Ternyata beban kerja mereka luar biasa beratnya. Tidak seperti perawat di Puskesmas, Pustu, ataupun di klinik, tugas mereka lebih ringan di bandingkan di RS.
Kurang dari tiga hari ku menjalani peran sebagai karyawan alias perawat training di RS. Rasanya udah nggak kuat. Padahal praktek di RS sudah pernah kujalani sewaktu masih menjadi mahasiswa keperawatan. Tapi kali ini rasanya Cuuaapeekk banget.... Kaki serasa nyut-nyutan. Padahal sudah sengaja mengganti sepatu yang lebih ceper ternyata belum mempan juga (T_T).
Sabtu (28/8) ku dinas di Unit Gawat Darurat (UGD), lumayan asyik. tidak banyak berdiri dan berjalan. Perawat seniornya pun asyik-asyik. Yang buat suasana kerja lebih cair saat itu adalah munculnya wacana ketidak samarata-an dalam pembagian air kaleng sebagai jatah lebaran bagi seluruh karyawan RS. Perawat di Poli dan di UGD tidak mendapat jatah minuman seperti para perawat di Ruang perawatan dan di ICU. Jadi rame tuh UGD dengan suara ketawa dan protes para perawat Poli dan UGD yang notabene adalah perawat yang paling lama mengabdi di RS tersebut.
Cukup empat hari ku menjalani masa orientasi di RS. Dan akhirnya diputuskan lah penempatan ku di mana. Karena salah satu perawat di Ruang Perawatan lantai III baru saja mengundurkan diri, maka aku ditugaskan menggantikan posisi beliau. Fiuh.... Dinas di ruangan bangsal... Makin gempor aja nih kaki.,,,,
Menyambung tulisan “Gara-gara Mentoring” yang lalu. Ku buka tulisan kali ini dengan sedikit muqoddimah.
Membentuk keluarga adalah fitrah bagi manusia. Tipe keluarga seperti apa yang akan dibentuk merupakan pilihan bebas bagi yang menjalaninya. Tergantung sejauh mana visi dan misi anda menikah. Sayang, banyak dari kaum muslim sekarang menikah hanya menurut kecenderungan naluriahnya. Padahal umat saat ini sangat mengharapkan generasi yang akan membangkitkan mereka. Generasi kebangkitan akan dapat terwujud dari keluarga yang dibentuk di atas paradigma pembentukan keluarga yang terpancar dari pandangan hidup Islam. Namun gambaran tuntunan Islam itu sudah kabur di dalam benak banyak orang dari kaum muslim. Maka suatu kewajibanlah untuk menjelaskan kepada umat. Proses paling awal dalam membentuk keluarga adalah memilih pasangan dan meminang.
Yah, kira-kira segitu saja muqoddimah yang saya edit dengan bahasa sendiri tanpa mengurangi maksud dari penulis.
Siang itu (19/8) aku duduk diantara antrian orang-orang yang akan mengurus surat-surat penting atau dengan kata lain aku sedang berada di kantor kecamatan Bengkong. Fiuh… menunggu untuk mendapatkan legalitas sebuah surat. Perlu sabar melihat cara kerja para pegawai itu. Apalagi menunggu adalah hal yang ku benci tapi ditunggu merupakan hal yang lebih ku benci. Jadi jika dihadapkan dengan dua pilihan itu aku lebih baik milih untuk menunggu. Melihat para pegawai yang mondar-mandir buka pintu membuat ku pusing, ku alihkan perhatian untuk membuka buku “Capita Selecta KAMMI: membumikan ideologi menginspirasi Indonesia, karangan Rijalul Imam dkk”. Buku yang belum sempat ku khatamkan.
(Agak sedikit menyimpang) “Tafsir Epistemologi Prinsip Gerakan KAMMI, Rijalul Imam” merupakan sub judul yang ku baca saat itu. Di dalam pembahasan ini bang Rijal (he… sok akrab!) menuliskan ada 6 mihwar (poros) gerakan KAMMI dalam membangun Indonesia. Pertama fase ideologi (1980-1998), kedua fase resistensi (1998-2004), ketiga fase reformulasi (2004-2009), keempat fase rekonstruksi (2009-2014), kelima fase leaderisasi (2014-2019), keenam fase internasionalisasi (2019-2024). Bagi ku bahasan ini cukup menarik, perhatikan tahun-tahunnya. Berada di fase apakah kita? Yup! Benar kita berada di fase rekonstruksi. Tahun 2009 adalah fase titik balik yang menentukan. Tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang pasti setiap gerakan harus memiliki rencana strategis (renstra). Renstra di lima tahun ke depan adalah menggulirkan Narasi Rekonstruksi Kebangsaan. Pada akhir bahasan ini bang Rijal menuliskan bahwa KAMMI harus merekonstruk kader-kadernya meningkatkan keahlian di bidangnya dan bergerak sesuai kompetensinya. Kelak, kader yang kompeten di bidang ekonomi syariah bekerja keras memperbaiki resesi ekonomi di sektor real dan makro. Kader di kedokteran pun bekerja memberikan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat dsb.
(Kembali ke jalan yang benar he… maksudnya kembali ke pokok bahasan) Akhir tahun 2010 ini usiaku genap 23 tahun. Berarti fase rekonstruksi berakhir saat ku berusia 27 tahun. Kemudian menginjak tahun ke-28 aku berada di fase leaderisasi, fase dimana bila dari tahun 2009-2014 KAMMI beserta para alumninya berhasil merekonstruksi bangsa ini maka hanya kepercayaan yang akan diberikan masyarakat pada KAMMI untuk memimpin negeri ini. Tentu pada fase leaderisasi ini usia kader dan alumni KAMMI sudah tidak hanya 20 tahun melainkan sudah ada yang seusia 30-an. Glekk!! Tiba-tiba ku terhentak. Apa tahun 2014 kader KAMMI akan semakin banyak??? Mengingat mahasiswa sekarang tidak seheroik dulu, tidak seidealis dulu. Begitu banyak prasangka-prasangka negatif yang muncul di benak. Lalu ku merujuk pada salah satu tulisan di atas “Generasi kebangkitan akan dapat terwujud dari keluarga yang dibentuk di atas paradigma pembentukan keluarga yang terpancar dari pandangan hidup Islam”. Wah… nancep banget nie kalimat. Salah satu solusi dari ketakutan-ketakutan ku itu ya memilih pasangan yang baik agamanya untuk menjadi teman hidup.
Menjadi mentor untuk anak-anak SMA baru bagiku. Sekitar lima bulan yang lalu aku diberi kesempatan menjadi mentor di SMA ku dulu. Pertemuan perdana dengan mereka membuat ku tersentak dengan pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Yah… pertanyaan mereka tidak jauh-jauh dari seputar percintaan. Lumayan menggelitik pertanyaan mereka, semuanya berhubungan dengan wacana dilarangnya berpacaran.Pertanyaan ini tidak pernah muncul pada zaman aku dan teman-teman menjadi peserta mentoring. Karena kami tidak pernah tahu kalau pacaran itu dilarang dalam agama. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam yang dulu asing di kalangan anak remaja sekarang sudah sangat familiar di telinga mereka. Yah, walaupun mereka belum tentu juga faham akan hal itu. Masih hari pertama, jadi ku gunakan untuk berta’arufan dengan mereka. Sekaligus sharing mengenai perkembangan ROHIS beberapa tahun belakangan.
Sesi Tanya Jawab
“ Kak, bener ya pacaran itu tidak boleh?” Tanya salah satu peserta mentoring dengan serius “ Siapa bilang? Boleh kok!?” jawab ku dengan PeDe nya ??????????????????????? tampaklah muka mereka yang keheran-heranan. Langsung saja ku sambung. “Pacaran itu boleh asal setelah menikah, malah itu wajib” lanjut ku “Oooooo…..” tanggap mereka serentak “Trus klo nggak pacaran lewat apa donk kak?” “Ya ta’aruf, kalian pernah dengar kata ini kan?” “Pernah sih kak…, tapi ta’aruf itu seperti apa?” Glekkkk!!!! Ta’aruf itu seperti apa ya?? wong aku belum pernah menjalaninya. Gimana ku bisa kasih tahu kronologisnya.
Akhirnya, dengan berat hati ku jujur mengatakan pada mereka bahwa aku tidak begitu tahu detail ta’arufan sebelum menikah itu seperti apa. Jadi yang kusampaikan pada mereka adalah proses yang pernah ku dengar dari Murobbiyah dan temen-temen satu usroh ku dulu. Alias ala kadarnya, tidak begitu lengkap.Dari kejadian itu, ku agak sedikit menyesal. Karena dari dulu ku paling ogah-ogahan membeli buku yang berhubungan dengan pernikahan. Jangankan membeli lalu membacanya. Membicarakannya atau membahasnya pun ku malas. Tidak berminat. Sampai-sampai ku tak berminat lagi membaca novel-novel Islami. Karena bisa ku tebak akhir ceritanya. Klo nggak sad ending dengan kematian ya….. happy ending dengan pernikahan dan poligami. Betul tidak?! He… Akhirnya karena kebutuhan inilah aku membeli dua buku tentang pernikahan. Satu untuk kado pernikahannya Kak Dodi dan yang satu lagi untuk ku baca-baca. Lumayan bisa buat bekal ku nanti. Aku lupa judul buku yang ku kasih untuk kak Dodi, tapi judul buku untuk ku adalah “Risalah Khitbah: Konsep Paradigmatik dalam Memilih Pasangan dan Meminang, karangan Yahya Abdurrahman”. Aku membalinya awal Juli 2010, baru Ramadhan ini ku sempat membacanya. Itu pun tidak ku baca dengan berurutan. Yang jelas Muqaddimah atau kata pengantar selalu ku baca duluan. Biar ku tahu apa tujuan si penulis memakai judul itu sebagai judul besar di bukunya. Kemudian ku membaca daftar isi nya, kira-kira subjudul mana yang paling menarik untuk bisa dibaca terlebih dahulu. Lalu ku pilih sub judul “Inikah Saatnya?”. Ada rasa ingin tahu dalam diriku. Apakah diriku sudah termasuk yang disunnahkan untuk menikah? Ataukah hukum wajib sudah jatuh pada ku? Atau hukum haram kah yang sekarang ku sandang? Jika aku termasuk yang disunnahkan/diwajibkan untuk menikah maka ku bulatkan tekad untuk segera menuliskan CV dari Murobbiyah yang sudah berminggu-minggu terlantar di tumpukan buku-buku. Bersambung cink….